Testimoni salah satu peserta PSPA-APS Bandung
http://parentingislami.wordpress.com/2009/01/11/miracles-at-home/
MIRACLES AT HOME
Ditulis pada 11 Januari 2009 oleh parentingislami
Rumahku adalah syurgaku….Rasanya selama beberapa tahun aku tak mengerti bagaimana sebuah rumah itu merupakan syurga yang tenang, damai dan menyenangkan. Setiap pulang lelah bekerja seharian ataupun sehari semalam, rasanya sumpek dan memusingkan. Suara teriakan anakku yang pertama diikuti oleh tangisan anakku yang kedua merupakan hiasan hari-hariku. Hari-hariku bertambah ramai dengan teriakan pembantuku yang panik melihat anak keduaku dipukul, dicubit atau dibenturkan oleh anak pertamaku. Sepertinya, setiap pulang ke rumah, kepalaku bertambah pusing.
Ketika kebisingan itu terjadi, karakterku yang keras dari kecil bergabung dengan ketegasan yang katanya harus dimiliki oleh orang tua berbentuk teriakan-teriakan larangan untuk anakku yang sangat kusayang. Kupegang tangannya dengan keras, dan kukatakan : “Kakak kenapa jahat sama Adik? Tidak boleh memukul adik. Sini, tangan jeleknya biar Ummi Cubit.” . Anak pertamaku diam memojok beberapa waktu, setelah itu keluar lagi bermain. Esok harinya, sepertinya dia tidak mendengarkan atau pun mengerti peringatanku kemarin. Kuingatkan lagi dengan cara yang hampir kurang lebih sama, dan kejadian yang sama pun berulang. Anakku pertamaku sekarang berusia 5,5 tahun, anak kedua berusia 2,5 tahun. Aku merasa saatnya aku harus mencari tahu cara pengasuhan anak yang seharusnya. Anak pertamaku sebentar lagi akan masuk SD. Aku takut, dia akan mengalami kesulitan karena sifatnya yang keras, tidak mau berbagi, suka melakukan kekerasan bila keinginannya tidak terpenuhi, tidak suka belajar. Aku harus mencari cara. Masih ada waktu 6 bulan lebih untuk aku mencari tahu dan memperbaiki semua ini.
Enam bulan. Kemana aku 5,5 tahun kemarin? Aku seorang dokter sekarang. 6,5 tahun yang lalu, aku menikah sambil melaksanakan koasistensi di sebuah rumah sakit. Semua orang yang tahu tentang alur pendidikan dokter akan paham betapa sibuknya kuliah di kedokteran. Sangat sedikit waktuku untuk bertemu dengan anakku, karena waktuku di rumah disita rasa lelah karena rantaian jaga malam dan kuliah yang harus kujalani. Anakku akrab dengan pembantuku. Aku hanya memegangnya sebentar untuk menyusui. Kalau sempat, aku membantu mengganti popok, menyuapi, memandikan, atau mengajaknya jalan-jalan. Rasanya lelah sekali. Anakku ini rewel sekali. Jika menangis bisa 2 sampai 4 jam baru berhenti menangis.
Setelah wisuda, aku terbebas dari rantaian kuliah, tapi mulai aku terbawa oleh jam kerja yang padat. Aku hamil anak kedua, dan aku harus bisa menabung untuk kelahiran anak keduaku. Rasanya pembagian waktuku mirip ketika aku kuliah.
Setelah kelahiran anak keduaku, aku sibuk dengan tugasku sebagai dokter PTT dengan gaji yang kecil. Aku jadi harus mencari banyak tambahan diluar, dan pembagian waktukupun sama seperti aku kuliah. Hal ini bertambah parah ketika aku ingin mempunyai rumah dan mulai membangun rumah di usia anakku 5 tahun. Aku harus berjuang amat sangat keras, tak ada yang bisa kuandalkan untuk mencari dana membangun rumah. Aku sering emosi ketika pulang ke rumah. Anak-anakku sering hanya mendapat wajah murungku, tak sempat aku bercanda dengan mereka, karena hatiku rasanya tertekan. Aku susah untuk tersenyum.
Dua bulan yang lalu, aku tiba-tiba merasa, aku sangat lelah. Aku lelah dengan pekerjaan yang tiada akhir, yang jadualnya kubuat sendiri. Tak ada yang memaksa. Aku lelah melihat dan mendengar suara teriakan anakku, dan tangisan adiknya. Aku merasa stress. Berat badanku menurun.
Adik-adikku sempat bermain ke rumah membawa buku Nanny 911. Aku tak membaca buku itu. Tapi aku jadi teringat aku sempat menonton acara itu sekitar dua kali. Di acara itu diperlihatkan, bagaimana seorang Nanny membantu sebuah keluarga untuk membantu mengarahkan anak-anaknya dari perilaku negatif menjadi anak-anak yang baik dan kooperatif sehingga mereka menjadi keluarga bahagia. Aku berpikir, aku ingin mempelajari bagaimana caranya, dan aku akan menjadi Nanny di rumahku sendiri.
Tak berapa lama, doaku terkabul. Aku berkenalan dengan seorang trainer pengasuhan anak lewat seorang teman. Aku bersilaturahmi ke rumahnya bersama suami dengan membawa anak pertamaku. Ketika masuk ke rumahnya, kami saling bertegur sapa dan berkenalan. Aku malu sekali kepada beliau karena anakku tidak mau bersalaman. Anakku malah sembunyi di belakangku. Aku jelaskan pada beliau. “Pak, maaf. Anak saya ini memang pemalu.” Setelah itu, beliau memberikan ilmu pengasuhan pertama seumur hidupku bahwa persepsi negatif yaitu pemalu yang kusampaikan akan direkam dalam pikiran anak dan akan membentuk anak sesuai persepsi itu. Jika aku ingin mempunyai akan yang pemberani dan mau bersalaman, katakan pada anak itu bahwa dia berani dan bisa bersalaman dengan siapapun. Persepsi positif berupa keberanian akan membuat dia berani.
Aku pulang dengan membawa satu ilmu yang ingin sekali kupraktekkan. Akhirnya aku praktekkan. Aku bilang bahwa anakku pemberani dan pintar bersalaman dengan teman umminya. Ketika kuajak ke rumah teman, dia pun bersalaman. Kukatakan padanya bahwa senyumnya manis sekali, dan orang akan senang kalau dia salami sambil tersenyum, dan dia pun melakukan hal tersebut. Kukatakan padanya bahwa dia pintar makan, dia jadi lebih bersemangat makan. Kukatakan padanya apa yang kumau, dan dia seperti disulap menjadi apa yang kuinginkan.
Keajaiban yang indah. Aku jadi ingin tahu lebih banyak teknik pengasuhan anak. Aku ingin membuat anakku suka belajar, mau shalat, mau berbagi dengan adiknya, mau mandi tanpa dipaksa, tidak lagi memukul adiknya. Aku mau anak yang sholeh.
bersambung…
.Zulaehah Hidayati,
dokter dan ibu dari dua orang anak
http://parentingislami.wordpress.com
Sabtu, 28 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar